Saturday, July 7, 2012
•♫. Madinah Menyapa #Rehab Hati - Bag 1
Fajar merekah di al jazeerah ufuk sebelah timur
Laksana sebongkah senyum berbahagia, memberi kabar
Sebentar lagi tiba di kota Rasulullah
Al Madinah al Munawarah.
Aroma Madinah mulai tercium,
Menebar semerbak wewangian
di pelupuk jiwa perindu sunah mulia.
Yah, tak ragu lagi, bis itu memasuki area mesjid Rasulullah!
Pilar-pilar mesjid Nabawi mulai terlihat, anggun menyapa,
meneduhkan jiwa-jiwa mereka yang terpanggil ke kota ini.
“Subhanallah…!”
Seperti ada kerinduan abadi untuk singgah di kota ini.
Kota di mana jasad mulia Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam terbaring di peristirahatan terakhirnya, terlelap tenang di antara altar-altar dan naungan kubah biru masjid Nabawi yang megah, mempesonakan mata siapa saja yang memandanginya.
Madinah.
Adalah sebuah kota yang namanya terkenang di sudut-sudut hati kaum Muslimin, membaur di jiwa-jiwa ummat, mengukir satu cerita yang tak akan pernah hilang sepanjang masa.
Disinilah ukiran nama al Islam mulai terpahat kuat dalam sejarah, biji-biji iman mulai disemai dan pohonnya tumbuh rimbun meneduhkan gersangnya sahara Madinah, menyingkap gelapnya kejahiliyahan.
Bumi Madinah,
Adalah tanah berbahagia yang dulu ikut memangku jejak-jejak kaki insan paling mulia yang pernah diutus sang Khalik.
Tanah yang menjadi saksi bisu tumpahan darah-darah segar para syuhada uhud. Tanah yang menyangga masjid Quba yang hingga kini berdiri sebagai bukti. Dulu dimesjid itu, Rasulullah berwudhu menyempurnakan dua rakaatnya saat matahari dhuha menyingsing.
Madinah.
Kota penuh cerita kerinduan yang membuat sahabat Billal radiyallahu ‘anhu
tak sanggup untuk tinggal berlama-lama selepas kepergian Rasulullah menemui Tuhan-Nya.
Tanah yang terkenal...
Semerbak mewangi diseluruh semesta raya.
Tanah yang dikenal baik oleh penghuni langit yang dimuliakan.
Tanah yang dikenal disetiap sudut-sudut di muka bumi, menjadi saksi bahwa disinilah jasad mulia Rasulullah terbaring.
Assalamu'alaika ya Rasulallah!
Perkenankanlah lidah yang kelu ini
ikut menghaturkan salam kami yang sederhana,
memeluk udara, meresapkannya dalam-dalam.
Seperti dulu, saat engkau berdiri di balik tirai menatap sahabatmu untuk terakhir kalinya. Cahaya wajahmu mengutarakan keresahan, tentang kami umat-umatmu yang engkau khawatiri.
Hari ini kami datang ya Rasulullah, menghantar salam meninggikan kembali harapan, tentang syafaatmu di hari yang tak ada naungan.
Biarkan sejenak
Jiwa kami menyatu dengan kesyahduan,
Ikut menyemai bijih-bijih kerinduan di kotamu,
Menumbuhkan kembali pucuk-pucuk iman…
Agar nanti ianya tumbuh menghiasi telagamu.
Jajakallah ya Rasullallah..
Engkaulah yang mengenalkan Islam kepada kami
Segala Puji bagi Mu ya Allah..
Engkau jadikan kami Hambamu dan Ummat,
Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi wa Sallam
Hari ini adalah 10 hari terakhir Ramadhan.
Subuh itu mesjid Nabawi mulai dipenuhi pengunjung. Aku tergesa menyelinap menelusuri koridor diantara gedung-gedung tinggi yang mengepung mesjid suci ini.
Semarak fajar di kota ini begitu hidup, wajah-wajah bercahaya berpesta wudhu dengan percikan zamzam dari drum-drum kecil di pojokan Masjid. Disini jiwa-jiwa seperti menemui peristirahatannya, menanggalkan jaket-jaket perbedaan dan berbagai logo yang memisahkan, sejenak bersembunyi dari lelahnya perdebatan tanpa ujung. Sejenak menumpahkan nafas kerinduan, melepaskan kekhawatiran akan dosa-dosa. Memupuk kembali pengharapan yang tinggi tentang sebuah pertemuan dengan insan mulia, di telaganya yang abadi, al Kautsar.
Diam-diam aku kebingungan, di manakah oase wudhu?
Malu rasanya menyentuh Masjid ini tanpa wudhu. Benar, wajah kami memang lelah setelah menghalau jarak ribuan kilometer dari senja di kota Riyadh kemarin, hingga tepian fajar ini di kota ini di pagi ini. Tapi, rasanya kami sepakat jika kelelahan itu sirna, hati kami seperti tertambat anggun di oase nan sejuk Madinah..
Iqamat sudah terdengar, dan aku baru saja menemukan tempat wudhu itu tersembunyi rapi di ruang bawah tanah. Ada dua escalator besar yang membawa jemaah masuk kelorong-lorong luas yang menjadi tempat wudhu di mesjid ini.
Kutanggalkan dua tas yang dari tadi membuatku agak kerepotan. Memang, berat laptop kecil itu tidak lebih dari dua kilogram, begitupun kamera dan peraIatan digital lain yang sengaja kubawa. Tas lainnya pun hanya berisi baju, handuk kecil yang kulipat. Selebihnya adalah tafsir Qur’an dan sajadah kecil yang dilipat. Tapi karena jauhnya jarak tempuh, barang-barang sederhana itu jadi sedikit membuatku kaku. Seusai wudhu aku naik lagi ke lantai satu pelataran masjid Nabawi.
Allahuakbar..!
Insan-insan beriman mengalir tanpa henti menuju masjid disubuh ini, sebagian menggelar sajadah di halaman masjid diantara payung-payung besar yang membentuk pilar-pilar tinggi. Di subuh hari payung itu seperti kuncup, dan nanti mekar saat mentari menyapa kota ini.
Al Imam masjid Nabawi mulai terdengar menyerukan perintah kepada jemaah – untuk meluruskan dan merapatkan shaf shalat ribuan makmumnya – saat aku berusaha menyelinap masuk kedalam barisan shalat dari dekat pintu gerbang mesjid. Pintu gerbang no .32, masjid Nabawi Madinah.
Subhanallah! Rasanya ini tidak pernah terjadi dalam hidupku selama sepermpat abad dipersinggahan dunia ini. Di sana – disebuah negeri di mana aku dilahirkan – subuh adalah waktu yang enggan, seperti titik terberat dalam 24 jam dikeseluruhan hari. Disini – disemua pintu gerbang yang tersebar di masjid ini – mau shalat saja antri, berdesak-desakan ketakutan! Risau jika tidak kebagian tempat shalat!
“Akh, itu hal yang biasa disini”, benakku berbisik-bisik sambil memandangi ukiran nama Bilall (radiyallahu ‘anhu) yang menjadi nama gerbang pintu yang kumasuki pertama kali di Nabawi ini. Akhirnya, senyum haru mekar diwajahku memasuki masjid bersama jemaah lain. Masjid ini sangat luas, mungkin setiap pengunjung yang baru saja singgah di mesjid ini akan menemui pengalaman yang sama. Kebingungan mencari pintu masuk yang tersebar di sekelilingnya.
Aku memulai shalat dengan gelisah, ada Tanya yang sejak tadi menggelitik di benakku; “Di manakah maqom-mu ya Rasulullah?”
Aduhai..
Kata apa yang harus kutulis disini?
Berdiri dibalik punggung sang imam Nabawi bertubuh kekar, terlihat tegap dengan lantunan ayat-ayat menggetarkan seisi jiwa. Memang, tak ada yang istimewa, namun entahlah…
Dahulu di sana Rasullullah sholallahu ‘alaihi wa sallam berdiri meminpin shalat bersama sahabat-sahabat, memperkokoh keimanan, menjemput tenaga dari langit, meneguhkan segenap keyakinan, mendirikan tonggak-tonggak perjuangan, meninggikan pilar-pilar Islam, memperkokoh dan mulai menanamkan nilai-nilai tauhid dipenghuni madinah.
Entahlah berlebih atau tidak. Kurasakan ada aura memancar di setiap tepian tiang-tiang yang setia menyangga masjid itu dari masa kemasa hingga saat ini, ada cahaya berkilauan di bawah lekukan kubah-kubah indah yang terpahat ornamen iman, menaburi kebahagiaan dan haru bagi siapa saja yang memandangya.
Auramu masih kami rasakan ya Rasulallah!
Engkaulah sosok pilihan yang terpilih, engkaulah yang telah memperkenalkan iman kepada kami, engkaulah yang telah memperkenal kan Addienul Islam yang eklusive ini kepada kami. Engkaulah cahaya penuntun yang menyerukan hidayah-Nya dalam Islam ini, didalamnya engkau tunjukan berbagai keindahan, di mana cinta adalah bahasanya.
Selepas shalat, jemaah melakukan aktifitas masing masing. Mereka menunduk malu di pojokan mesjid, meratap-ratap menghujamkan do’a diantara tebing ketakutan dan pengharapan, mengangkat tangan sepenuh pengharapan dan wajah-wajah basah peluh dengan air mata.
Sayang, waktu yang kami miliki hanya dua jam saja. Dalam waktu yang sempit itu kami harus menemukan letak pusara Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucap salam yang tersimpan, salam ziarah terindah sebagai tanda kecintaan, sesaat berdiri disana demi menghempaskan rindu yang menggebu.
30 menit berikutnya kami telah berada diantara paying-payung raksasa di halaman masjid Nabawi. Dari sini terlihat antrian jemaah menuju satu pintu. Bab As-Sallam, begitulah nama yang terukir di pintu gerbang No. 1 Masjid Nabawi itu. Pintu masuk kedalam koridor panjangan menuju pusara Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam.
Disana kami berdiri menunggu, aliran jemaah yang masuk kedalam terbagi dua. Dari dalam mesjid dan dari luar pintu itu tersebut. Hatiku mulai tak tenang dan berdebar lebih kencang.
Ditengah hiruk pikuk, ingatanku terbang kesebuah masa paling menegangkan saat Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam berpesan dengan terbata-bata di pangkuan siti Aisyah Radiyallahu ‘Anha. Menitipkan salam terakhirnya untuk ummat yang sangat beliau khawatiri.
Terpampang jelas diingatan sebuah shubuh yang sama, dimasa yang berbeda. Senin 12 Rabiul Awal, saat itu kesehatan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam sedikit membaik setelah terjatuh sakit seusai peristiwa haji wadaa, di mana beliau menyampaikan salam perpisahannya – kepada ummat Muslimin dihadapan 120 ribu peserta Hajj di Makkah – beliau tertimpa demam.
Beliau kembali ke Madinah dan terbaring di rumah Aisyah radiyallahu ‘anha, dikelilingi para sahabat yang teramat mengkhawatirinya.
Beberpa hari kemudian kesehatannya membaik. Saat itu Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam berdiri menyingkapkan tirai pintu rumahnya yang terhubung ke Mesjid ini. Menatap wajah para sahabat yang sedang khusyuk shalat, tunduk dihadapan Allah berderet rapi di belakang imam shalat mereka, sayidinna Abu Bakar radiyallahu ‘anhu.
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada siti Aisyah yang merawatnya untuk memerintahkan Abu Bakar rhadiyallahu ‘anhu agar mengimami shalat saat beliau tidak mampu lagi berdiri untuk meminpin shalat di mesjidnya.
Masha Allah..!
Masjidnya bercahaya dengan kemunculan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam saat itu, beliau memperhatikan para sahabatnya satu-persatu. Begitu sempurnanya kecintaan sahabat kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan, sahabat berkata: "Kami hampir hampir lalai dari shalat kami, ketika wajah Rasulullah muncul dari tirainya. Abu Bakar hampir saja mundur dari tempatnya menjadi Imam shalat.. dan para sahabat hampir hampir berpaling.. tapi kemudian, Rasulullah menunjuk dengan tangannya agar mereka tetap ditempatnya..”
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam menutup tirai di pintu dan masuk lagi ke rumahnya. Itulah hari terakhir Rasulullah memandang sahabat-sahabat tercintanya.
Saat itu para sahabat bergembira, mereka mengira Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam kembali sehat seperti sedia kala. Sebagian dari mereka ada yang pulang kerumahnya dan meneruskan aktifitas, tidak lagi berkumpul di mesjidnya.
Namun seperti yang dicatat sejarah para ahli hadits, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam tetap terbaring sakit dan dirawat di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha hingga wafat di dekapannya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha, berkata; "Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin kepada semua istrinya untuk dirawat di rumahku, dan mereka mengizinkannya. Hari senin, yaitu hari wafat beliau pun tiba.. Ruh baginda diambil di rumahku dan dalam dekapanku”[ ]
Kakiku terus bergeser sedikit demi sedikit mendekati sebuah kamar biru tua dilapisi pagar hitam. Di sekelilingnya bertuliskan nama-nama berderet berdampingan hingga menembus ke pintu masjid diseberang.
Kuperhatikan huruf arab gundul yang mengabarkan nama ruang tersebut, belum selesai kumembacanya, seorang kakek yang dari tadi terdorong-dorong di depanku tiba-tiba saja mengangkat tangan kanannya, dan mengarahkan telapaknya ke arah kamar yang di pagar besi dihadapan.
Matanya berkaca, suaranya parau bergeletar.
“Assalamualika ayyuhannabiyyu warohmatullahi wabarokatuh. Sollallahu ‘alaika wa jazaka ‘an ummati khairan”
Ia menggeser arah telapak tangannya kearah kamar disebelahnya, suaranya semakin menggeletar... Tidak semua kumengerti, namun kudengar darinya: “Assalamualaika ya Abi Bakrin kholifata Rasulillah sollallahu alaihi wa sallam warohmatullahi wabarokatuh..rhadiyallahu anh…”
Ia terus menggeserkan tangan dan wajahnya ke kamar-kamar lain dengan berkata “Assalamualaika ya Ummaru amiirul mu’minina warohmatullahi wabarokatuh rhadiyallahu anh’…” dan seterusnya.
Disana aku baru tersadar. Bahwasannya tepat saat itu tubuhku sedang berdiri dihadapan maqom Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat terdekatnya. ....
BUKU REHAB HATI - NAI
Hal 24 - 30 (Insya Allah, jika ada umur panjang bersambung hingga Hal 450)
Bukunya sudah terbit dan bisa dipesan langsung di FB NAI, inbox langsung dengan format pemesanan: NAMA, ALAMAT, No HP, dan Jumlah Pesanan.
To be Continue, insha Allah!
Salam Bahagia
Nuruddin Al Indunissy
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment