Tuesday, July 10, 2012
Layar Kehidupan #Rehab Hati Bag 11
“Rasa percaya sepenuh hati, yang diikuti dengan kesungguhan untuk merealisasikannya itulah yang disebut Iman. Dan iman itu tidak akan hadir tanpa adanya pengetahuan, iman itu tidak akan tumbuh sempurna – apalagi hingga berbuah – tanpa adanya keinginan untuk menjaganya”.
Aktor dan aktris yang baik, akan menyadari sepenuhnya bahwasan kehidupan di panggung itu tidaklah nyata. Itu hanyalah sebuah uji coba kepiawaian dalam menjalankan peran yang sepenuhnya harus mengikuti sutradara. Laksana hamba yang mengikuti Tuhan-nya.
Sehingga aktor dan aktris yang baik tentu tidak akan merasa kesulitan, jika sekedar untuk bisa enjoy dengan perannya di panggung sandiwara tersebut. Sehingga lahirlah sebuah kesimpulan, bahwa berbagai kesulitan itu ternyata timbul hanya karena kesalahan tolak ukur yang tercipta dalam fikiran masing-masing pemeran itu sendiri (aktris atau aktor tersebut).
Tentu saja, hanya aktor yang tidak bijak jika ia bersedih – hanya – karena peranannya yang ia sukai, tiba-tiba saja diganti si sutradara bukan?
Lebih tidak bijak lagi jika si aktor tersebut – misalnya saja – ingin mengundurkan diri dan meninggalkan panggung sandiwara. Padahal panggung itu adalah satu satunya panggung yang akan membawanya kepada kesuksesan terbesar dimasa depannya nanti; yaitu masa depan terakhir, Akhirat.
“Akhiratlah masa depan yang sesungguhnya”.
Kesulitan-kesulitan untuk berbahagia di panggung sandiwara dunia ini hanya terjadi akibat adanya tolak ukur yang salah. Sehingga dengan mudahnya jiwa itu bersandar kepada hal yang tidak kekal, tak hayal lagi, saat sandaran itu rubuh maka jiwanyapun ikut melepuh.
Jika parameter atau tolak ukur itu benar, maka Insya Allah, ada garansi kebahagiaan bagi insan yang beriman dan tidak ada tawar menawar didalamnya.
Ada “garansi kebahagiaan” bagi jiwa yang beriman, dimana kesungguhan dan keyakinan adalah rahasianya. Dan keyakinan ini hanya akan terlahir dari pengetahuan dan pemahaman yang mendorongnya untuk menjadi hamba yang “tahu diri”.
Sangat disayangkan jika tidak semua dari kita memahami nilai berharga yang kita terima dalam peranan hidup kita ini. Kadang manusia masih sering mengeluh dan kecewa saat mereka memperoleh satu peranan yang tidak pernah ia kira sebelumnya, atau tidak sesuai rencana yang ia ingini. Padahal aktor atau aktris yang baik dan sukses adalah mereka yang patuh dan tunduk terhadap sutradara dan mengikuti seluruh skrip skenarionya.
Muslim yang akan sukses adalah mereka yang mengikuti dan mematuhi seluruh komando Sang Sutradara Seluruh Alam: Allah Al Malik (Yang Maha Merajai), Malikul Mulk (Yang Maha Penguasa Kerajaan/Semesta).
Al Malikul Mulk (مالكالملك) Yang Maha Penguasa Kerajaan (Semesta)
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (Q.S. Al Baqarah: 255)
Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin diartikan dengan ilmu Allah dan ada pula yang mengartikannya sebagai kekuasaan-Nya. Allah Dzat Yang memiliki segala kekuasaan di alam ini, dan dengan Kekuasaan-Nya melaksanakan segala hal yang dikehendaki. Atau Pemilik Kerajaan. Atau Pemilik Abadi segala Kedaulatan.
Seperti halnya tubuh manusia yang bagaikan kerajaan bagi esensi manusia itu sendiri. Banyak anggota tubuh bekerjasama untuk mewujudkan satu tujuan. Dan dengan cara tersebut, dunia ini seperti satu orang, sedangkan bagian-bagian dunia seperti anggota-anggota tubuh yang bekerjasam untuk mencapai satu tujuan. Karena bagian-bagian disusun dalam satu tatanan yang teratur dan disatkan oleh satu ikatan, mereka membentuk satu kerajaan dan Allah Subhannahu wa Ta’ala sebagai raja satu-satunya.
Kerajaan setiap orang adalah tubuhnya sendiri, jika apa yang dikehendakinya tertunaikan dalam sifat-sifat hatinya dan anggota tubuhnya, dia adalah raja dari kerajaan dirinya, menurut ukuran kekuasaan yang diberikan kepadanya.
Allah adalah Al Malik, seluruh wujud adalah kerajaan-Nya, yang walaupun banyak dan beraneka ragam, merupakan satu kesatuan. Dia-lah Sang Pemilik dan Pengelola Yang Maha Kuasa diatas segalanya!.
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Ali ‘Imran: 26)
Al Malik (الملك) atau Yang Maha Merajai, Dialah Allah sang sutradara agung, Maha Raja dan Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Memerintah, Maha Memiliki, Maha Menguasai, Raja seluruh alam semesta dunia dan Hari Akhirat, pemilik segala sesuatu yang terhampar di alam semesta.
Kita, saat ini dan detik ini dapat berdiri dan masih dapat bernafas secara sempurna, itu karena karunia dari Allah sebagai Dzat Yang Maha Memiliki, nafas dan hidup kita ini bukanlah milik kita akan tetapi Milik Al Malik, bahkan ketika saat ini kita merasa bahagia bersama orang-orang terkasih kita, sejatinya itu semuanya hanya pinjaman dari Allah Subhannahu wa Ta’ala yang kelak akan kembali diambil olehNya.
Semuanya adalah pinjaman yang memiliki batas waktunya, dan ketika Allah berkehendak untuk mengambilnya kembali, maka kita diharuskan untuk meridhakannya dengan keyakinan bahwa ketika Allah mengambil sesuatu yang berharga dalam hidup kita bersamaan dengan itu pula Allah sedang mempersiapkan kebahagiaan yang lain sebagai penggantinya.
Allah meridhai segala perbuatan-perbuatan mereka, dan merekapun merasa puas terhadap nikmat yang telah dicurahkan Allah kepada mereka.
Kesadaran diri akan Asma Al Malik membawa kepada pembelajaran agar kita tidak sombong atas semua yang kita miliki, karena pada hakikatnya adalah milik Allah Subhannahu wa Ta’ala. Begitupun dengan peran yang kita emban!!
Bukankah tidak berlebihan, jika diawal telah saya katakan bahwa kewajiban yang diberikan sang Sutradara bukanlah sebuah paksaan tetapi sebuah pengkondisian agar semua pemerannya bahagia, sukses di panggung dunia untuk kemudian menikmatinya di akhirat yang abadi.
Aktor dan aktris yang tidak mengikuti jalur-jalur skenario, mereka adalah aktor dan aktris gagal yang tidak tahu bahwasannya panggung itu akan dirubuhkan nanti. Mereka sibuk bercanda dan tertawa-tawa, padahal asisten-asisten sang Sutradara – yang kita kenal dengan para Malaikat – terus memonitor dan mencatat dengan details semua kejadian dan keberlangsungan kehidupan ini secara terperinci waktu demi waktu.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Q.S. Qaaf 16-18)
Subhanallah!
Bukankah teramat menyedihkan, jika dari mereka – bahkan – ada saja yang masih memilih untuk berpura-pura tidak mendengar. Mereka yang samasekali tidak percaya dengan keberadaan Sang Sutradara? Sungguh mereka telah menciptakan hijab antara ruh dan Tuhan-nya sendiri, mereka telah menjerumuskan diri mereka kedalam lembah sesat leberalisme dan atheisme. Mata hati mereka buta dan hingga kemudian Allah Subhannahu wa Ta’ala menguncinya. Mereka berani memikirkan dengan logikanya tentang keberadaan Tuhan, padahal otak yang mereka gunakan itu tidak lain adalah ciptaan Tuhan dan tentu sebuah kemustahilan jika ia tercipta begitu saja.
Namun saat ini, bukanlah sebuah pemandangan aneh jika banyak aktor-aktris yang pemalas, tidak ada keinginan sedikitpun dihatinya untuk memahami skenario kehidupannya sendiri. Hingga jelaslah kehidupannya tidak tentu arah, dan ia tidak akan pernah menemui kebahagiaan.
Padahal panggung sandiwara bernama dunia ini akan dirobohkan dalam sebuah suasana dahsyat, dalam sebuah hari yang dijanjikan; hari kiamat, hari yang akan mengakhiri semua skenanrio kehidupan di dunia ini. Kematian yang akan memutuskan segala harapannya, kematian yang akan membukakan pintu-pintu lain di negeri yang lain.
Di negeri itu pesta mahsyar akan digelar, disana hari hisab dimulai. Disana hanya ada dua kemungkinan, nobel atau penjara, syurga yang abadi atau neraka yang juga abadi. [ ]
Nobel syurga hanya akan diraih dengan keridhaan Allah, ia hanya akan didapat dengan mengikuti dan mematuhi keseluruhan skanerio Agung melalui tuntunan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam . Nobel yang nanti akan dianugerahkan oleh Sang Sutradara Raja Diraja di dunia, di hari pembalasan dan hari akhirat yang kekal.
“Genggamlah dunia ini, dengan pemahaman iman dan ilmu. Lalu campakanlah segera sebelum ia mencampakanmu, sebelum ia membutakan matamu, sebelum ia mengikat kedua kakimu, dan sebelum ia benar-benar mengubur tubuhmu”.
Bersiaplah, karena sungguh sang sutradara bisa berteriak "Cut.. Cut..!" kapan saja, seruan yang akan menandai berakhirnya peranan seorang manusia di dunia fatamorgana ini.
Analogi tidak berakhir hingga disini. Layaknya dalam dunia shooting, seorang aktor dan aktris yang baik tidak akan mengeluh jika sang sutradara menegurnya, baik itu dengan sebuah teriakan “Cut..cut!” atau hal lain. Malah seorang aktor professional, ia akan malu atas kesalahannya dalam berakting dan memainkan peranannya. Ia sadar bahwa scene itu harus diulang lagi dengan penjiwaan yang lebih baik. Ia berusaha sebaik mungkin agar bisa menyelesaikannya dan berlanjut ke scenes berikutnya.
Sama halnya dengan aplikasi analogi ini dalam kehidupan nyata, scenes atau adegan tersebut adalah tahapan-tahapan pendewasaan dalam kehidupan dengan berbagai ujian dan rintangannya. Ingat, satu adegan tidak dilakukan disatu tempat saja, bisa di gedung tinggi, bisa di pantai, bisa ditengah kebisingan kota, di dalam gedung ber-AC atau bahkan di tempat tempat kotor dan hina sekalipun.
Tapi, lagi-lagi. Aktor yang baik tidak pernah merasa hina jika ia harus ber-akting di tempat yang hina sekalipun. Karena yang ia inginkan bukan penilaian dari sekitaran, tapi penilaian dari sutradara. Ia selalu ingat bahwa ada camera yang merekamnya!
Subhanallah, begitulah seorang hamba yang baik. Ia tidak peduli dengan hinaan atau komentar manusia, ia sibuk memperbaiki kualitas diri agar dipandang baik oleh Sang Sutradara Alam Semesta. Yang ia perlukan adalah kesan baik dari Tuhan saat nafas di detik terakhirnya di ambil kembali, nilai itulah yang ia butuhkan.
Begitupun hal yang lebih tinggi dari tingkatan itu. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam adalah aktor terbaik di semesta ini, dalam pribadinya terdapat berjuta keteladanan. Beliau sholallahu ‘alaihi wa sallam tidak beribadah karena hanya menginginkan nobel syurga saja, tetapi beribadah sebagai ungkapan “terimakasih” kepada Rabb-nya. [ ]
Meskipun tingkatan itu tidak mampu kita capai, namun kita bisa terus mencoba dan mendekatinya. Ini bisa dilakukan dengan terus melatih penjiwaan atau menghadirkan “ruh” dalam ibadah.
Lihatlah… seorang aktor dan aktrispun tidak akan pernah bisa meraih “nobel” jika ia hanya berpura-pura dalam aktingnya, atau hanya karena berharap ingin dilihat sekitaran. Karena yang ia lakukan hanya kepura-puraan, tanpa sebuah penjiwaan. Tentu disana ia akan mendapati kesulitan – kesulitan, misalnya saja saat ia dituntut untuk berakting disebuah situasi dengan adegan menangis.
Analogi yang sesuai dengan seorang munafik yang kesulitan untuk menangis dihadapan Rabb-nya. Sementara ia gemetar ketakutan saat urusan dunianya merugi, padahal dunia ini hanya sandiwara yang tak perlu ia tangisi secara berlarut.
Selayaknya, seorang aktor harus berakting, memainkan dan menjiwai peranannya demi mencari kepercayaan dan penilaian sutradara untuk meningkatkan nilai jualnya dalam sebuah panggung sandiwara ini. Panggung sandiwara sementara yang akan menentukan kesuksesan karir masa depannya. Kesuksesan itu menghasilkan uang, dan uang itu adalah bekal untuk hidupnya di dunia nyata nanti.
Seperti panggung sandiwara dunia yang selayaknya digunakan untuk mencari bekal di kehidupan yang nyata yaitu akhirat, disanalah sesungguhnya masa depan sebenarnya bagi seorang manusia yang berfikir. Nasib yang harus dirisaukan seorang mukminin mukminat yang berakal.
Tidak sekedar dirisaukan namun dipersiapkan, hal yang harus difikirkan dari mulai ia bangun dipagi hari hingga saat saat terakhir saat ia terlelap dimalam harinya.
“Akhiratlah yang seharusnya kita risaukan, bukan dunia ini”.
Orang bahagia adalah mereka yang piawai dalam mensyukuri dan merelakan diri atas peran yang dipilihkan Allah Subhannahu wa Ta’ala untuknya. Aktor yang sukses dan menjadi besar adalah aktor yang patuh dan mengikuti apa skenario dan arahan-arahan dari sang Sutradara. Mereka menerima serta menjiwai setiap peranan yang diberikan hingga mereka “enjoy’ atau menikmatinya disetiap pentas di panggung sandiwara bernama dunia ini.
.....
BUKU REHAB HATI - NAI
Hal 78 - 84 (Insya Allah, jika ada umur panjang bersambung hingga Hal 450)
Bukunya tersedia, inbox ana langsung dengan format pemesanan: NAMA, ALAMAT, No HP, dan Jumlah Pesanan.
Salam Bahagia
Nuruddin Al Indunissy
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment